Menerima

Hari ini aku berniat untuk tidak ke mana-mana. Hawa dingin di luar membuatku malas bergerak. Dan, aku benar-benar berharap tak harus bergerak.

Gerakan itu bisa membuka kedua mataku akan keadaan yang harus kuhadapi walau aku tak ingin. Aku hanya ingin meringkuk diselimuti hawa dingin sambil memejamkan mata.

Tapi, aku harus bergerak. Aku harus membuka mata.

Mas Wan berangkat pagi ini. Aku benci setiap kali harus menerima kenyataan bahwa aku tak bisa mengelak dari tugas mengantarnya sampai di pintu dan berdo'a dalam hati agar pesawat yang akan dikemudikannya akan selamat sampai tujuan.

"May, ayo bangun dong..."

Tangan Mas Wan lembut mengusap punggungku. Aku berbalik dan memeluknya.

"May, jangan begitu dong. Setiap kali aku harus terbang, seakan itu penerbangan terakhirku. Kamu selalu layu dan tak bersemangat. Aku butuh istri yang kuat."

Ah, Mas Wan...sewaktu melamarku, kamu tidak mengatakan apa-apa soal butuh istri yang kuat. Aku memang lemah. Aku takkan sanggup selalu harus menenangkan diri dan menunggu saat-saat kamu menelepon dari sisi dunia yang lain.

Tapi, aku tak punya pilihan, bukan? Tak mungkin aku memaksamu meninggalkan pekerjaan yang kamu cintai?

Jadi, kamu juga tak punya pilihan, Mas. Kamu harus menerimaku sebagai istrimu yang terlalu menyayangimu, yang selalu ketakutan kehilanganmu, yang selalu akan bersikap aneh setiap kamu akan terbang.