Sang Manipulator

Sore itu, Revi tidak langsung pulang ke kos-kosannya. Ia meminta sang sopir taksi membelokkan kendaraan ke arah Jl. Asia Afrika. Ia berniat mengunjungi sebuah pusat pertokoan di daerah itu. Well, mungkin berbelanja, mungkin untuk cuci mata. Yang terakhir barusanlah yang lebih mungkin menjadi alasan utama Revi, sekarang kan baru tanggal 14, artinya gajian masih dua minggu lagi. Namun, ternyata bukan itu alasannya.

Kemudian, dengan kemejanya yang berwarna merah muda dan rok agak mini berwana senada, tak lupa tas jinjing dan sepatu dengan warna yang tidak berbeda, Revi turun dari taksinya. Rambutnya yang panjang kecoklatan—natural—digulung dengan anggunnya. Pipi putihnya yang mulus dipoles blush on—tentunya—dengan warna merah muda juga, sepeti halnya bibir mungilnya, bersapukan lipstik merah muda.

Hari itu, yang tepat merupakan hari valentine, memang Revi menjadi gadis termanis di kantor. Di atara rok dan sepatunya, betis mulus putih Revi—yang dibalut stocking putih transparan—juga terlihat ‘manis’ di mata pegawai pria di kantornya. Tadi pagi, lehernya yang terlihat di antara jas kerja merah mudanya dan sanggulan rambutnya yang membuat semua orang—pria-wanita, klien-pegawai—di kantornya menengokkan kepala, kini lebih jelas lagi karena jas itu hanya disampirkan di tangan kanannya—karena yang kiri menjinjing tasnya—dan leher itu terlihat lebih jenjang dengan sedikit bahu yang telanjang.

Revi tahu itu dan ia menikmati perhatian semacamnya. Kali ini ia yakin, setiap mata di pusat pertokoan itu akan berpaling padanya. Lalu, di matanya ada kilatan kegembiraan walau bibirnya tidak menyunggingkan senyum sedikit pun. Bibirnya hanya bergantung di wajahnya dengan anggunnya. Ia memang pandai mengolah wajah cantiknya dan itu membuatnya jauh lebih menarik lagi.

Terbiasa digilai pria—bahkan juga oleh para wanita pencinta sejenis—, Revi sudah pandai dengan kata penolakan. Menolak juga merupakan kegemarannya. Ia sangat suka jika yang ditolaknya kemudian mati-matian mengejarnya. Kalau menguntungkan, ia akan berbaik hati menemani beberapa hari saja, selebihnya ia akan mencari gara-gara sehingga ia yang akan ditinggalkan, namun tanpa lupa meninggalkan kesan mendalam sehingga orang tersebut menyesal dan merasa bersalah padanya. Manipulator sejati!

Malam itu ia juga akan melakukan kebiasaannya memanipulasi. Kencannya akan dimulai pada pukul setengah sembilan malam. Dan tepat di hari valentine itu, Revi akan melepaskan kungkungan lelaki yang sudah dua minggu ini menguasainya. Lelaki itu lumayan berduit, hanya saja, nafasnya bau, dan ia akan menikah sebentar lagi. Revi tidak suka masalah dalam percintaan. Ia tahu bahwa lelaki itu akan melakukan segalanya, termasuk membatalkan pertunangannya, jika memang Revi menghendaki. Namun, bukan lelaki semacam itu yang diinginkan Revi menjadi ‘penguntit’ sejati dalam sisa hidupnya nanti.

Tiba di tepi kolam di pusat pertokoan itu, Revi masih punya waktu satu setengah jam. Ia memutuskan memasuki sebuah tempat perbelanjaan yang menyediakan banyak pakaian dan aksesoris.

Revi sangat menyukai pakaian dan aksesoris. Walaupun bukan artis, koleksinya tidak sedikit. Ia suka segalanya matching. Namun ia tidak suka terlihat membosankan, jadi ia selalu mencoba me-mix-and-match-kan pakaian-pakaian dan aksesorisnya. Namun, ia tidak mempunyai uang terlalu banyak. Kalau memang sedang tidak ada yang membelikan, ia akan melihat-lihat saja di pusat pertokoan semacam plaza atau mall, lalu mencari-cari yang hampir serupa di pusat grosir.

Yang membuatnya kesal, hanya sebagian kecil toko-toko di pusat grosir dapat menerima credit card, kartu kredit, bahasa Indonesianya. Jadi seringnya, ia akan mengambil sejumlah uang dari kartu kreditnya untuk membayar segala macam belanjannya di sana.

Baru lima menit berada di pusat perbelanjaan itu, matanya tertuju pada sebuah selop tinggi berwarna baby green. Ia sudah punya sebuah tas berwarna senada. Pakaian memang belum ada, tapi putih pun akan terlihat manis dengan aksesoris serba baby green.

Kakinya yang terawat rapi dan terbalut stocking keluar dari sepatu merah mudanya dan menyusup ke dalam selop yang berhak lebih dari lima sentimeter itu. Revi sebenarnya menghindari selop yang terlalu tinggi. Tubuhnya yang tinggi semampai akan terlihat seperti raksasa jika ia memaksakan diri dengan selop atau sepatu tinggi. Tapi yang satu itu susah untuk diacuhkan, warnanya benar-benar membuat Revi jatuh cinta

Design selop itu juga sangat sederhana dan terlihat sangat chick, anggun, ada unsur kasual namun dapat juga dipakai dalam suasana formil, misalnya di kantor, pada hari Jum’at. Senangnya Revi. Selama itu, Revi belum pernah melihat yang semacam itu di pusat grosir. Well, kenapa tidak, pikir Revi. Ada kartu kredit, walaupun ia belum gajian.

“Ditolak, Mbak,” kata pegawai kasir yang mungil dan berkuncir kuda, yang berdiri dengan sopan di hadapan Revi, di balik sebuah mesin hitung.

“Oh, ditolak ya?” tanya Revi sambil mengeluarkan kartu lainnya, “coba yang ini deh, Mbak.”

Beberapa menit berlalu, “Mbak, yang ini ditolak juga.”

Seluruh wajah Revi mulai sewarna dengan pakaian dan asesorisnya.

“Coba ini,” kata Revi dengan gaya dibuat se-cool mungkin.

Pegawai kasir menggeleng ke arah Revi sambil mengembalikan kartu.

Revi berdo’a dalam hati, semoga yang satu lagi tidak ditolak, sambil menyodorkan kartu lainnya.

Hampir satu menit, belum ada reaksi. Mesin mungil berwarna biru yang teronggok di sisi sang pegawai kasir itu tidak juga mengeluarkan bunyi teret-teret atau semacamnya yang pasti akan terdengar indah di telinga Revi malam itu.

Lebih dari satu menit, yes, tidak ditolak. Bunyi teret-teret itu memang indah bagi Revi.

Sambil menenteng belanjaan, Revi kembali berkeliling. Matanya terpaku pada sebuah jas kerja semi casual berwarna putih dengan potongan sederhana. Pikiran Revi melayang. Jas kerja itu berkerah setengah turtle neck, dengan bros hijau disematkan di atas dada kanannya, dipadu dengan tas baby green dan selop barunya, pasti akan terlihat indah. Keren akan menjadi komentar teman-teman kantornya.

Revi mendekati jas itu. Pertama-tama yang diraihnya adalah bandroll harga. Emosi sekali Revi. Tujuh ratus delapan puluh lima ribu rupiah. No discount!

Tidak! Kali ini emosinya menang dari hawa nafsunya. Ia akan mencari model serupa di pusat grosir atau menjahitkan dengan model yang sama persis di langganannya di Bendhill.

Selesai sudah acara berbelanja. Ia kembali ke rencana semula, menemui lelaki bernafas ‘menyengat’ itu.

Selama dua jam Revi menemani lelaki itu untuk terakhir kalinya. Lelaki itu ingin main bowling, ia turuti, ingin minum kopi, juga ia turuti, lalu yang tidak dapat diturutinya hanyalah permintaan gilanya untuk check in. Tanpa sepatah kata pun, Revi meninggalkannya.

That’s it, kata revi dalam hati.

Revi pulang naik taksi lagi. Sebenarnya ia sudah mengantuk tapi tetap dibuka matanya untuk meyakinkan diri bahwa sang sopir tidak sedang membawanya kabur.

Setengah jam saja waktu yang dibutuhkan Revi untuk tiba di rumah kosnya di bilangan Jakarta Selatan. Ia memberikan tips yang lumayan kepada sang sopir, sekedar ungkapan terima kasih karena tidak membawanya kabur. So silly.

Heran, lampu tengah rumah kosnya masih bersinar terang, biasanya hanya redup saja, seperti perintah pemilik rumah agar biaya listrik tidak membengkak. Pasti ada tamu, gumam Revi dalam hati.

Ia paling malas jika harus melewati pintu depan sementara di sana ada tamu, apa lagi jika itu adalah salah seorang teman sekosnya yang sedang ‘bercengkerama’ dengan pacarnya. Namun, hari itu kunci pintu belakang tertinggal di kamar kosnya tadi pagi. Akhirnya terpaksalah ia berjalan menuju ruang utama yang terang benderang tersebut.

“Nah, ini yang saya tunggu-tunggu sejak tadi,” kata seorang pria kekar berkulit hitam dengan jaket berwarna abu-abu gelap sambil memegang sebuah kertas yang telah dilipat di tangannya.

“Maaf ya, Bapak ini siapa?”

Lelaki itu menyodorkan tangannya. Revi ragu sejenak. Matanya mengamati punggung tangan hitam lelaki itu dengan telapak yang tidak halus dan tebal. Merasa tidak enak karena telah melakukan pengamatan yang sebenarnya tidak perlu itu, Revi pun mengulurkan tangan dan mereka bersalaman. Tangan lelaki itu sangat kokoh.

“Saya Heru. Mbak Revi kan?” tanyanya sopan, Revi mengangguk.

“Akhirnya kita benar-benar bisa bertemu ya, Mbak.”

“Tapi Pak Heru ini siapa? Kok kenal saya? Sepertinya saya belum pernah mengenal Bapak.”

“Panggil saja Mas Heru.”

Revi menjatuhkan tubuhnya di sebuah kursi rotan di hadapan Heru.

“Ok, Mas Heru. Siapa sebenarnya Mas ini?”

“Mbak Revi kalau tidak salah punya enam kartu kredit?”

“Untuk apa Mas Heru tahu itu?”

“Itu bagian dari tugas saya.”

“Maksud Mas Heru?”

“Sudah sebulan ini kan Mbak Revi ditelepon bagian penagihan bank kami?” tanya Mas Heru sambil menyodorkan amplop berlogokan sebuah bank provider salah satu kartu kredit yng dimiliki Revi.

Revi tidak terlalu terkejut. Di kantornya yang lama, ia pernah didatangi seorang debt-collector, jadi bisa dikatakan ia semestinya tahu bagaimana cara menangani lelaki satu ini. Sayangnya lelaki ini agak berbeda dengan debt-collector yang pernah ia temui dulu. Lelaki ini memiliki kesopanan yang bisa dikatakan melebihi yang seharusnya dimiliki seorang debt-collector.

“Mas Heru ini seorang debt-collector, betul?”

Heru mengangguk.

“Jadi, saya mesti bagaimana? Saya tidak bisa membayar sekarang. Saya nggak punya uang.”

“Saya tahu, Mbak. Kalau Mbak punya uang, tentu tagihan Mbak sudah dibayarkan sejak kemarin kan?”

Revi mendengus. Perasaannya antara terkesan, kesal dan terimidasi dengan pendekatan yang dilakukan lelaki itu. Lagi-lagi mata Revi mengarah pada tangan lelaki itu. Ia teringat sensasi yang ditimbulkan ketika tangannya direngkuh dan digenggam erat-erat.

“Jadi?”

“Saya cuma mau tanya kira-kira kapan Mbak Revi bisa melunasi?”

“Habis gajian mungkin.”

“Sekarang tanggal 14. Sekitar dua minggu lagi?”

“Yah, begitulah.”

“Ok, akan saya cek account Mbak dalam dua minggu lagi. Mari, saya pamit dulu. Saya rasa Mbak perlu istirahat.”

Heru beranjak dari duduknya dan berjalan menuju pintu rumah.

“Mas Heru,” panggil Revi, “kok Mas Heru tahu saya punya enam kartu kredit?”

“Yah bagaimana ya,” Heru menghentikan langkahnya di samping pintu yang terbuka, “informasi.”

“Dari?”

“Sumber yang saya tidak dapat sebutkan. Mari Mbak Revi, selamat malam. Saya tunggu kabarnya dua minggu lagi.”

Selanjutnya Heru bergerak cepat ke arah pagar. Sementara itu, Revi masih termangu di ruang tamu. Kepalanya terasa sakit. Enam kartu kredit. Enam tagihan. Jari dan otaknya bersama-sama menghitung kira-kira berapa cicilan terendah yang dapat ia bayarkan untuk semua kartu kredit itu yang jatuh temponya hampir bersamaan. Kepalanya tambah sakit, nyut-nyut.

Malam itu Revi tidak bisa tidur nyenyak. Angka-angka memenuhi kepalanya. Kalkulasi jumlah gajinya dikurang beberapa keperluan pokoknya, dikurang semua pembayaran cicilannya menghasilkan angka...minus. Takut salah berhitung, Revi mencari kalkulator mininya. Beberapa angka dikurang angka lainnya, menghasilkan angka...minus. Memang minus jika Revi harus membayar semua cicilan minimal tagihan kartu kreditnya.

Semua billing statement kartu kreditnya berceceran di sekeliling tempat tidurnya. Mata Revi baru bisa tertutup jam tiga pagi, itu pun direkatkan oleh tetesan air mata yang tak kunjung habisnya sebelum itu.

Jam lima, matanya kembali terbuka. Ketukan pintu membangunkannya, seiring dengan bayangan Heru dan billing statement yang masih berserakan dan kusut di sekelilingnya.

“Rev, mau ikut jogging gak?” suara Rita meneriakkan ajakan yang biasa didengar Revi pada Sabtu pagi.

“Nggak dulu, Rit,” jawab Revi dengan suara serak dan agak bindeng.

Walau begitu, Revi tetap beranjak dari tempat tidurnya. Kakinya melangkah menuju meja rias. Cermin di mana ia melihat wajahnya sangat tidak bersahabat. Di mata Revi, semua kerutan dan bintik-bintik seakan muncul bersamaan di sekujur wajahnya.

Rambutnya tetap tergelung dengan beberapa juntai menggelayut di sekeliling pipinya. Biasanya sebelum tidur, Revi selalu menyisir rambutnya dengan sikat sisir kesayangannya.

Pagi itu Revi benar-benar tidak mau keluar kamar, padahal ia harus ke salon karena salah seorang teman kantornya akan menikah siang itu. Ke salon, keluar uang! Terlebih lagi, salon langganannya bisa menerima pembayaran dengan kartu kredit.

Revi membuka dompetnya. Hanya tinggal dua kartu yang bisa digunakannya. Yang empat sudah pasti akan ditolak, seperti semalam. Ia teringat Heru, lelaki itu memang debt-collector dari bank yang mengeluarkan salah satu kartu kredit yang ditolak itu.

Heru, jabatan tangannya yang kokoh dan gayanya yang mengintimidasi. Tidak pernah sebelumnya perasaan Revi begitu terusik. Tentu saja, kan Heru seorang debt-collector, pasti ia tahu bagaimana memberi kesan mendalam bagi sasarannya.

Tapi Revi tidak merasa takut. Terintimidasi bukan berarti takut. Well, ok, mungkin ada unsur takut di dalam kata intimidasi tapi bukan takut yang dirasakan Revi. Ia hanya merasa tidak nyaman. Tepatnya, merasa ditelanjangi oleh Heru. Hanya dengan mengetahui keberadaan enam kartu kredit miliknya, Heru seakan sudah mengetahui setiap detil hidup dan diri Revi.

Inginnya Revi, seperti biasanya, tidak perduli, tapi ternyata ia perduli, sangat perduli. Bagaimana kalau sampai kakaknya tahu? Kakaknya sudah pernah memperingatkan agar tidak memiliki sebegitu banyak kartu kredit. Tapi itu memang salahnya, semestinya ia tidak menuliskan nama kakaknya pada setiap aplikasi. Tapi siapa lagi? Ibunya sudah lama meninggal, apalagi ayahnya, sejak Revi kecil. Adiknya lebih kacau lagi, Revi sendiri tidak yakin di mana si bungsu yang bekerja sebagai penyanyi di kafe-kafe itu tinggal.

Yang pasti kakak dan adiknya tidak bisa dipinjami uang. Kakaknya pasti akan ceramah lagi agar Revi berhati-hati dengan uang. Adiknya pasti justru akan berbalik meminta pertolongan darinya.

Yang pasti lagi, sepanjang akhir minggu itu hidup Revi tidak lagi bisa tenang. Bayangan kartu kredit, billing statement dan Heru memenuhi kepala, hati, jiwa dan raganya, terutama bayangan sang debt-collector yang memberikan kesan mendalam itu.

Dua minggu kemudian, Senin pagi, jam sembilan tepatnya, Revi ditelepon. Heru!

“Bagaimana, Mbak? Siap membayar? Kalau Mbak mau, kami bisa datang ke tempat Mbak untuk memudahkan pembayaran, apalagi jika dilunasi semua.”

“Pak Heru, MASIH JAM SEMBILAN PAGI!” Revi berteriak, “Apa saya nggak dikasih kesempatan bernafas dulu?”

“Saya rasa udara dalam paru-paru Mbak Revi sudah cukup banyak. Tadi pagi Mbak Revi sempat jogging kan?”

“Pak Heru membuntuti saya? Memata-matai saya? Saya bisa lapor polisi!”

“Silahkan Mbak, saya hanya memastikan bahwa Mbak dalam keadaan baik-baik dan tidak kabur, sehingga tagihan dapat segera dibayarkan. Saya hanya menjalankan tugas, Mbak.”

“Kabur? Apa maksud Pak Heru? Mau kabur ke mana saya?”

“Biar lebih akrab, panggil saja Mas Heru, ya, Rev?”

Ting! Lampu menyala di kepala Revi.

“Ok, Mas Heru, nanti malam ada acara?”

“Tidak. Revi ada?”

“Ada, saya perlu ketemu Mas Heru. Mas tahu kan nomor HP saya? Tolong Mas sms nomor Mas, nanti sore saya sms tempatnya.”

Entah Heru atau Revi yang masuk jebakan. Mereka berpacaran. Dua minggu setelah mereka memutuskan berpacaran, Heru melaporkan ke atasannya bahwa ia kehilangan jejak Revi. Mereka berpacaran selama dua setegah bulan, selanjutnya Heru benar-benar kehilangan jejak Revi, kekasih hatinya.

Kembalilah, untukku...

Malam itu aku sendiri. Ia baru saja pergi. Tangannya mengangkut sebuah kopor kecil berisi pakaian.

Ia pergi dengan tergesa-gesa. Ia bahkan lupa mengenakan topinya.

Topi itu tergeletak pasrah di atas meja kecil di sudut kamar. Dan aku duduk pasrah di sudut kamar yang lain.

Kucoba menghalangi kepergiannya. Tapi, tidak bisa.

Ia selalu begitu setiap kami selesai bertengkar. Ia akan pergi…kadang lama, kadang kurang dari sehari.

Tapi, ia pernah mengancam untuk tidak akan pernah kembali. Tapi, ia selalu kembali.

Dan, tadi ia mengancam lagi. Dan, kali ini aku benar-benar takut ia tak kembali.

Topinya. Mungkinkah itu akan membawanya kembali ke sini?

Mungkin. Tapi, ia kembali untuk topinya. Ia tidak kembali untukku.

Knowing "It"

Does she know what I know?

That has been the question that fills my head lately. I wish I could just for get the fact that I know something that my best friend might not know. Or, might know.

Yet, I can't ask her if she knows it or not. What if she doesn't know? Asking the question will make me inform something that she might wish not to know.

Ah, I know, this is complicated.

Well, it looks simple, but trust me, it actually is complicated!

How can it not?

I saw my best friend's husband walking down the street with a girl--yes, a girl...I bet she's not even 17 yet!--holding hands.

Well, let me just assume that she doesn't know. And if finally she knows it and comes to me and cries on my shoulder, I think I won't say a thing about what I know.

Or...???