Karla

Karla menerjang semua yang ada. Ruangan itu hanya seluas tiga kali empat meter. Sangat kecil dibandingkan dengan yang dulu ia miliki. Tangannya meraih botol air minum yang sudah penyok, lalu dengan sekuat tenaga melemparkannya ke sebuah lemari kayu yang tidak akan pernah bisa memuat baju-bajunya yang kerap ia beli di mall. Meja rias? Tidak berguna lagi, bukan karena ia telah memecahkan cerminnya dengan botol parfum kesayangannya yang menyebabkan serpihan kaca menempel di jarinya yang tengah meneteskan darah, tapi lebih karena ia tidak ingin lagi berdandan. Semua tidak ada gunanya lagi.
Tempat tidur? Sudah basah ditumpahi air dari botol minuman yang penyok itu. Kapuk, bukan busa, bertebaran di mana-mana karena ia telah mencabik-cabik kasurnya dengan sebilah pisau yang kemudian sedang dipandanginya tepat di depan kedua matanya yang merah menyala dan jalang. Ada juga sebuah gunting di pangkuannya. Pisau dilemparkan ke lemari kayu, menancap. Lalu ia menggenggam gunting, memasukkan jari-jarinya ke lubang pemegang yang terbuat dari plasti yang kokoh. Diambilnya sejumput ujung rambutnya yang panjang, lurus tak di-blow seperti dulu, diguntingnya sekitar dua centimeter. Berlanjut, lima centimeter, hingga tersisa hanya dua sampai tiga centimeter dari kulit kepalanya.
Di luar orang telah berkerumun. Semua berusaha mengambil kesimpulan apa yang sedang dikerjakan Karla, penghuni baru kamar kos-kosan di pinggir Jakarta itu.
"Die stress, dulunya tajir kayaknye..." suara pemilik kos-kosan terdengar oleh Karla.
"Sialan semuaaa!!!!" Karla berteriak sekencang-kencangnya sambil menarik pisau yang tertancap di lemari dan menusukkannya ke perutnya, darah di mana-mana.
Mata Karla terbuka lima hari kemudian di sebuah rumah sakit. Banyak orang di sekelilingnya. Ia berada di bangsal. Bau tak sedap di mana-mana. Hanya beberapa detik matanya terbuka untuk kemudian tertutup lagi, dan tak pernah akan terbuka lagi.

0 comments: