Bertanya atau Ditanya?

Wenny duduk diam mematung di kursi yang terletak di balkon kamarnya. Matanya menembus gelapnya langit malam yang tak berbintang.

Tiba-tiba seperti ada kilatan di atas kepalanya lalu gambar sebuah bohlam menari-nari di sekelilingnya, seperti bohlam Profesor Lang Ling Lung, hanya saja bohlam Wenny tak bertangan dan tak berkaki.

Kemudian, tangan Wenny membimbing penanya menuliskan sebuah kalimat lagi yang diakhiri dengan tanda tanya besar. Kalimat yang baru itu menduduki urutan ke-tujuh puluh dua.

Selanjutnya, Wenny menutup buku itu, masih dengan wajah puas, tanpa senyum, tapi siapapun yang dapat melihat rautnya saat itu tahu, ia puas. Lama ia menatap tulisan besar di sampul bukunya.

Pertanyaan untuk-Nya

Buku itu sudah dua bulan dimilikinya. Tepatnya semenjak Wenny mengalami hal yang benar-benar mengguncang hidupnya. Entah apa, hanya Wenny yang tahu. Tak seorang pun di luar dirinya yang tahu.

Tapi semua orang tahu, apa pun yang terjadi, kejadian itu telah mengubah Wenny. Ia jadi rajin menulis di buku yang dijulukinya “Pertanyaan untuk-Nya” itu. Tidak, tak seorang pun pernah bisa mengintip apa yang ditulisnya, semua orang hanya menebak-nebak apa yang ditulis Wenny di dalamnya berdasarkan judul itu.

Akhirnya ada juga masanya segelintir orang yang penasaran itu menemukan jawaban atas pertanyaan mereka selama ini, “Apa yang ditulis Wenny di dalam buku itu?”

Pada urutan ke-delapan: “Apa salahku?”

Pada urutan ke-dua puluh tiga: “Kenapa Kau menciptakan pria pertama yang akhirnya Kau usir ke dunia itu?”

Pada urutan ke-dua puluh sembilan: “Mengapa Kau membiarkan mereka menyecap buah itu?”

Pada urutan ke-tiga puluh enam: “Apa gunaku di dunia?”

Pada urutan ke-empat puluh empat: “Apa salah mereka?”

Pada urutan ke enam puluh tujuh: “Maukau Kau menjawab pertanyaanku?”

Pada urutan ke-tujuh puluh tiga: “Aku akhirnya lelah, aku boleh tertidur panjang lalu bertemu dengan-Mu dan menanyakan semua pertanyaanku?”

Malam sebelum segelintir orang itu membaca isi bukunya, Wenny menuliskan pertanyaannya yang terakhir. Dini hari ia mengambil keputusan itu. Keputusan yang salah, keputusan yang tak membuatnya tertidur panjang, hanya membuatnya terbaring di Ruang Gawat Darurat.

Wenny merasa sakit. Ia teringat bukunya. Ia merasa lebih terguncang daripada sebelum ia memutuskan bertanya pada-Nya.

Dua jam penuh rasa sakit membuatnya mengucap istighfar. Namun, di hatinya muncul sebuah kalimat tanya lainnya. Namun kali ini bukan karena ia ingin tahu, tapi karena penciptaan pertanyaan itu sudah menjadi bagian mekanisme hidupnya.

Hanya dua jam lebih dua menit Wenny merasa sakit. Akhirnya Dia menjawab permintaan Wenny untuk tidur panjang.

Tapi segelintir orang yang mengetahui rahasia terdalam Wenny justru menciptakan pertanyaan baru setelah mereka berjalan tujuh langkah meninggalkan makam, “Apakah saat ini Wenny sedang ditanya, atau sedang bertanya, atau…justru tak ditanya sama sekali?”

Pertanyaan yang sama dengan pertanyaan Wenny dalam hati setelah ia mengucap istighfar.

0 comments: